Sufisme
(gerakan tarekat) dalam sejarah perkembangannya tidak lepas dari
berbagai tuduhan seperti; tarekat mengabaikan dan atau tidak
mementingkan syari’at[1];
tarekat hanya mengajarkan orang untuk banyak berzikir pada Allah
dan hari akhirat (akhirat centris) dan mengabaikan kehidupan
duniawi[2]. Dan tuduhan yang paling ekstrim adalah tarekat penuh dengan tahayul dan khurafat[3] yang menyumbangkan secara signifikan terhadap kemunduran dan kehancuran umat Islam.
Selain itu ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa tarekat tasawuf merupakan ajaran baru[4] dalam Islam yang mengandung banyak bid’ah dan khurofat, serta telah keluar dari syari’ah yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Asumsi-asumsi diatas, dalam diskursus
perkembangan tarekat di dunia Islam bisa dianggap wajar. Hanya saja
terkesan begitu menggeneralisir, terburu-buru dan memiliki beberapa
keberatan, sehingga harus didiskusikan lagi, karena selain banyaknya
aliran tarekat yang ada di dunia Islam dengan memiliki karakteristik
yang berbeda-beda, juga tempat berkembang dan diamalkannya tarekat
seringkali memunculkan variasi yang berbeda-beda.
Hal yang pertama dan paling penting
dalam menelusuri kesesuaian tarekat dengan syari’at adalah mengecek
kemuktabarahan tarekat itu sendiri. Kriteria utama tarekat untuk bisa
disebut mu’tabarah adalah pertama, ajaran-ajarn tarekat harus sesuai
dngan syari’ah. Kedua, wirid yang diamalkan harus nyambung mata
rantainya dari mursyid sampai Nabi Muhammad. Ini berarti wirid tersebut
diamalkan oleh Nabi dan diwariskan kepada mursyid yang sekarang[5].
Dalam tarekat silsilah menjadi sesuatu yang sangat penting, karena
silsilah itu bagaikan “kartu nama” dan legitimasi sebuah tarekat, yang
akan menjadi tolok ukur sebuah tarekat itu muktabarah atau tidak.
Silsilah tarekat itu harus nyambung kepada Nabi, hal ini memberikan
keyakinan bahwa bimbingan dari mursyid itu benar-benar berasal dari
Nabi. Kalau tidak demikian maka tarekat itu terputus dan palsu.[6]
Komponen tarekat biasanya terdiri dari
syaikh tarekat, syaikh mursyid (khalifahnya), mursyid sebagai guru
tarekat, murid dan pengikut tarekat, serta ribath (zawiyah) tempat
latihan, kitab-kitab, system dan metode zikir. Upacra keagamaan bisa
berupa bai’at, ijarah atau khirqah, silsilah, latihan-latihan,
amalan-amalan tarekat, talqin, wasiat yang diberikan dan dialihkan
seorang syaikh tarekat kepada murid-muridnya.[7]
By: Humas
[1]
A. J. Arberry dengan keras menyatakan bahwa sufisme merupakan bentuk
pelanggaran yang luar biasa terhadap syari’ah, immoralitas yang terbuka
dan oportunisme yang curang. Lihat Elizabeth Sirriyeh, Sufi dan
Anti-Sufi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 2. Diterjemahkan dari judul
asli Sufis and Ati-Sufis (England: Curzon Press, 1999).
[2]
Ruzbihan Baqli berkata: “Aku melihat Neraka dan aku melihat mayoritas
penghuninya adalah orang-orang yang mengenakan baju rok tambalan dan
membawa mangkuk makanan”. Lihat Elizabeth Sirriyeh, Sufi dan Anti-Sufi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), xv.
[3]
Muhammad Ibn Abd Wahhab, menegaskan bahwa pada zaman itu (sufi) telah
muncul zaman jahiliah baru yang lebih bobrok ketimbang pra-Islam.
Kemudian Syaikh ‘Abd Allah putra M. Ibn ‘Abd Wahhab menjelaskan keadaan
kaum sufi yang mementingkan mendatangi kumpulan orang-orang sufi dari
pada solat dengan teratur, mementingkan datang kekuburan orang-orang
suci daripada mendatangi masjid, mendengarkan puisi-puisi sufi daripada
al-Qur’an dan lain sebagainya. Lihat Elizabeth Sirriyeh, Sufi dan Anti-Sufi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 4-5. Kemudian Sa’di penulis besar Persia menceritakan dalam Gulistan (Taman
Mawar); bahwa suatu ketika ada orang saleh bermimpi, dalam mimpinya
melihat seorang raja di Surga dan seorang asketis di Neraka. Kemudian
bertanya, mengapa yang satu ditinggikan derajatnya dan yang lain di
rendahkan derajatnya, berlawanan dengan anggapan semua orang? Kemudian
terdengar suara yang menjawab, bahwa raja masuk Surga karena mengikuti
darwis dan ulama yang masuk Neraka karena dekat dengan raja”. Cerita
paradox ini menunjukan bahwa secara batin seseorang bisa menjadi sufi
meskipun memakai mahkota raja.
[4] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 18-24. Disebutkan bahwa dalam
tasawuf terdapat unsur Nasrani, Hindu-Budha, unsur Yunani dan unsur
Persia.
[5] Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKis, 2004), 65.
[6] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 9-10.
[7] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Trekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 9.
0 comments:
Posting Komentar