Mudik,
fenomena kultural yang “mungkin” hanya ditemukan di Indonesia menjelang
Hari Raya Idul Fitri, dilakukan banyak orang secara massif. Alasannya
memang klise, yakni rindu kampung halaman dan ingin bertemu dengan
keluarga yang tinggal di kampung. Bagi penulis, alasan ini menarik bila
dikaitkan dengan interrelasi agama dan keluarga tradisional
ditengah-tengah pengaruh perubahan sosial yang telah terbukti
memporak-porandakan unit dasar unsur fundamental masyarakat tersebut.
Dibalik ritual tahunan ini, ada salah satu bentuk manifestasi
silaturahmi dan antitesa terhadap budaya modern yang fragmentatif dan
individualistik.
KELUARGA DAN PERUBAHAN SOSIAL
Keluarga bukanlah sesuatu yang given atau a-historis,
melainkan masih sibuk “membentuk” dirinya sendiri dalam rentang
dialektika yang panjang, dalam proses perkembangan dari bentuk yang
lebih rendah ke bentuk yang lebih tinggi sesuai pertumbuhan dan kemajuan
masyarakat, teknologi, dan ekonomi karena setiap masyarakat senantiasa
berkembang walaupun pada masyarakat tertentu dalam kadar potensial.
Perubahan yang tengah bergulir mengubah pola kehidupan manusia dan pola
atau struktur sosial menyeluruh, termasuk institusi keluarga, sehingga
fungsi, peran, dan individu keluarga akan terpengaruh dan menemukan
sistem nilai baru atau, jika tidak, ia akan tenggelam atau tidak dapat
menentukan sikap terhadap perubahan itu.
Pada mulanya, pengaruh perubahan sosial
terhadap keluarga dapat diperhatikan pada munculnya fragmentasi,
keluarga terpecah-pecah menjadi organisasi-organisasi kecil yang tidak
lagi didasarkan pada ikatan darah, melainkan hanya pada ikatan
perkawinan; keluarga hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Bentuk
keluarga batih ini dianggap mampu secara fungsional merespon perubahan
masyarakat yang dibawa oleh proses industrialisasi. Menyusul kemudian
muncul pergeseran peran patriarkis dimana perempuan banyak mengambil
peran yang semula menjadi domain laki-laki, dan individualisme dimana
individu memiliki hak absolut bahkan diatas hak-hak Tuhan.
Problem pertama yang muncul adalah
perlindungan keluarga yang tidak sekokoh ketika organisasi keluarga
masih dalam bentuk keluarga besar, keluarga tampil fragmentatif dan
individualistik. Apabila sebuah keluarga kehilangan suami sebagai kepala
keluarga, misalnya karena kematian, maka kelangsungan keluarga tersebut
menjadi sangat terganggu. Apabila anak perempuan dari keluarga tersebut
hendak menikah, siapakah yang akan menjadi wali nikah sebab wali nikah
merupakan salah satu rukun yang harus terpenuhi. Istri dapat saja
berperan menjadi kepala keluarga karena pergeseran peran patrairkis,
namun istri tidak dapat bertindak sebagai wali nikah bagi anaknya
menggantikan suaminya yang telah meninggal.
BENTUK KELUARGA IDEAL DALAM ISLAM
Pola relasi keluarga dan agama perlu
dielaborasi karena, selain agama banyak “memberikan warna” terhadap
tatanan keluarga melalui aturan-aturan yang menjadi dasar legitimasi
ketika diterapkan pada masyarakat, juga konsep keluarga yang diberikan
agama tidak luput dari “pembongkaran” tersebut.
Dalam pandangan Islam, membentuk
keluarga merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam
perkawinan, yakni melanjutkan estafeta kehidupan keluarga melalui
keturunan. Yang harus digarisbawahi adalah bahwa keluarga yang hendak
dibentuk dalam Islam, pada dasarnya, bukanlah keluarga kecil (nuclear familiy) yang hanya terdiri dari orang tua dan anak saja, melainkan keluarga besar (extended family)
yang mencakup didalamnya kerabat yang terkait dengan suami dan istri.
Indikasinya dapat dilihat pada keterlibatan mereka dalam wali nikah dan
waris. Sederet laki-laki garis keturunan ayah dengan segala tingkatannya
memiliki hak menjadi wali nikah dan ditetapkan agama sebagai langkah
antisipatif manakala sang ayah telah tiada. Dependensi yang tinggi
terhadap wali nikah menunjukkan bahwa keluarga ideal dalam agama adalah
keluarga besar. Selain itu, sederet orang-orang yang memiliki ikatan
darah dan perkawinan yang ditetapkan agama memiliki hak saling mewarisi
dan menjadi indikator bahwa keluarga yang hendak dibentuk dalam Islam
bukanlah keluarga kecil yang hanya didasarkan pada ikatan perkawinan
semata.
MUDIK DAN ANTITESA BUDAYA MODERN
Perubahan sosial yang membawa dampak
perubahan terhadap keluarga sesungguhnya merupakan perwujudan budaya
modern pasca revolusi industri. Pergolakan dalam struktur sosial dunia
modern telah merusakkan sebagian besar struktur sosial tradisional.
Akibatnya, masyarakat menjadi semakin terpecah-pecah dan mobilitas yang
jauh lebih besar terbentuk. Sementara pada saat yang sama, banyak ikatan
sosial bersama-sama masyarakatnya semakin melemah sehingga norma-norma
yang ada dan mapan sebelumnya mulai berubah bahkan ditinggalkan.
Supaya perubahan membawa kemajuan bagi masyarakat yang bersangkutan maka harus diusahakan perpaduan kembali (reintegrasi).
Disinilah agama berperan meskipun tidak secara tegas terpisah atau
“dibersihkan” dari faktor-faktor lain, misalnya melalui budaya mudik,
sebab kebudayaan sebagai cara hidup tidak bebas nilai. Kebudayaan
terikat oleh nilai-nilai, maka iapun sesungguhnya merupakan penjelmaan
nilai-nilai.
Budaya mudik bagi Penulis merupakan salah satu manifestasi silaturahmi yang diajarkan agama dan dapat menjadi media untuk meng-counter
budaya industrial modern yang fragmentatif dan individualistik. Melalui
budaya mudik, kita berharap reintegrasi masyarakat dapat ditata
kembali. Dengan niat para pemudik rindu kampung halaman dan kangen
dengan keluarga di kampung, diharapkan keluarga ideal dalam Islam tidak
terberangus oleh budaya industrial yang fragmentatif dan
individualistik. Melalui budaya mudik, mereka dapat mengenal satu sama
lain, tidak teralienasi dari orang-orang yang memiliki hak terhadap
mereka baik langsung maupun tidak langsung, dan ikatan keluarga tetap
terjalin secara utuh meskipun jarang bertemu. Karena yang terpenting
bukan pada intensitas pertemuannya, melainkan pada kualitas jalinannya.
Melalui budaya mudik, silaturahmi meneguhkan eksistensinya dalam pribadi
muslim Indonesia. Wallahu a’lam.
Oleh : Agus Susanto, S.Ag.(Penghulu pada KUA Kecamatan Cikijing Kab. Majalengka)
0 comments:
Posting Komentar